Pages

Minggu, 10 Agustus 2014

Informasi Menarik dan Bermanfaat Seputar Islam

Dimana Allah Tinggal Sebelum Bersemayam di Atas Arasy?

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Alhamdulillah wa syukru lillahi, laa haula wa laa quwwata illa billah. Was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihil kiram ajma’in. Amma ba’du.
Salah satu sumber penulisan dalam blog ini ialah pertanyaan-pertanyaan pembaca dalam forum diskusi. Kadang suatu pertanyaan tidak cukup dijawab di forum diskusi, sehingga perlu diberikan jawaban yang lebih luas dalam wujud artikel tersendiri. Walhamdulillah.
Pertanyaan sebagian pembaca tentang tuduhan adanya kesamaan antara konsep Tauhid dengan teologi Trinitas Kristiani, alhamdulillah sudah ditulis (tetapi belum dipublikasikan). Dan kini ada lagi pertanyaan dari pembaca tentang “tempat tinggal” Allah Ta’ala.
Isi lengkap pertanyaan dari saudara @ Awam (setelah di-edit seperlunya)  adalah sebagai berikut:
“Saya mau tanya kepada Mas Abisyakir dan @ Ahmad (salah seorang pembaca yang berkomentar dalam artikel “Allah Ta’ala Ada di Langit”). Kalau memang Allah ada (bersemayam) di langit atau di atas Arasy, lalu dimanakah Allah  tinggal sebelum Arasy dan langit diciptakan oleh Allah? Apa mungkin Allah berpindah tempat? Sedangkan yang saya tahu, itu sangat mustahil! Tolong beri penjelasan yang masuk akal!”
Si penanya merasa ragu (atau tidak yakin), bahwa Allah Ta’ala ada di atas langit, seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an maupun Sunnah. Sebagai alasan dari keraguan itu, dia melontarkan pertanyaan seputar “dimana Allah tinggal” sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy.
Dengan memohon karunia Allah, ilmu, dan petunjuk-Nya, mari kita kaji persoalan ini lebih jauh.


“Keruwetan akal membawa keruwetan jiwa"

PERTAMA, dalil yang menyatakan bahwa Allah itu ada di atas Arasy setidaknya ada 7 ayat dalam Al Qur’an yang secara qath-i menjelaskan hal itu. Ia adalah: Surat Al A’raaf ayat 54, Yunus ayat 3, Ar Ra’du ayat 2, Thaha ayat 5, Al Furqan ayat 59, As Sajadah ayat 4, dan Al Hadid ayat 4. Bahkan dalam Surat Al Baqarah ayat 29 disebutkan: “Tsumma istawa ilas sama’i fasauwahunna sab’a samawaat” (kemudian Dia istiwa menuju ke langit, lalu Dia ciptakan 7 tingkat langit). Sebagai orang Muslim, sebelum kita berpikir masuk akal atau tidak, semestinya harus mengimani ayat-ayat ini. Kalau tidak demikian, berarti kita membuat syarat-syarat dalam keimanan kita. Misalnya, kalau masuk akal diimani, kalau tak masuk akal ditolak. Janganlah demikian, sebab hal itu dianggap tidak tulus dalam beragama.

KEDUA, dalam ajaran Islam banyak perkara yang bersifat ghaib. Ghaib bisa karena waktu (misalnya peristiwa-peristiwa di masa lalu, atau di masa depan). Ghaib bisa karena ruang (misalnya letaknya sangat jauh, atau sangat kecil, sehingga tak tampak oleh penglihatan normal). Ghaib juga bisa karena wujudnya (misalnya ada makhluk halus yang tak tampak, padahal mereka ada dan eksis, seperti jin, Malaikat, ruh, dll.).
Di antara perkara ghaib itu ada yang Allah ajarkan, dan ada pula yang tidak Dia ajarkan. Contoh, hanya sebagian saja dari ribuan Nabi dan Rasul yang disebutkan kisahnya dalam Kitabullah dan Sunnah. Terhadap berita-berita yang Allah ceritakan, ya kita imani; adapun yang tidak Dia ceritakan, kita menahan diri untuk tidak masuk ke wilayah itu, agar tidak  menjadi sesat karenanya. Na’udzubillah min dzalik.
Informasi atau ilmu tentang dimana posisi Allah Ta’ala sebelum Diri-Nya menciptakan langit dan Arasy, adalah termasuk hal-hal sangat ghaib yang tidak diceritakan dalam Kitab-Nya. Kalau terhadap kisah Nabi-nabi tertentu yang tidak dikisahkan dalam Al Qur’an, kita mau menahan diri untuk tidak mengorek-ngorek kisah seperti itu; lalu bagaimana mungkin kita akan mempertanyakan posisi Allah sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy? Apa perlunya? Kalau misalnya kita sudah tahu, apakah itu bisa meningkatkan keimanan, atau membuat akal justru semakin liberal dengan fantasi-fantasi ala Bani Israil lainnya?

KETIGA, dalam Al Qur’an atau Sunnah dijelaskan, bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas Arasy. Arasy itu ada di atas langit yang ke-7. Bagaimana cara Allah bersemayam di atas Arasy, hal itu merupakan perkara ghaib. Kita tidak boleh mengatakan, Allah disana “duduk”, “berdiri”, “menempel”, “mengambang”, dll. Karena memang semua itu tak dijelaskan oleh-Nya dan oleh Nabi-Nya Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Termasuk pertanyaan, apakah Arasy itu berupa ruang, udara kosong, dimensi nihil, atau apapun? Semua itu tidak usah dipikirkan dan ditanyakan. Dengan sendirinya, jika Istiwa’ Allah di atas Arasy tak usah ditanyakan, maka bagaimana keadaan Allah sebelum menciptakan Arasy, lebih tak perlu ditanyakan lagi.

KEEMPAT, munculnya pertanyaan, dimana Allah sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy, hal ini lahir karena kesalahan berpikir sangat fatal, yaitu sejak awal sudah mempersepsikan Allah seperti makhluk. Misalnya, suatu saat kita melihat seekor burung hinggap di pohon depan rumah. Maka pikiran logis kita akan segera bergerak: “Dari mana nih burung? Kok pagi-pagi sudah nongol di depan rumah?” Nah, untuk makhluk, kita bisa berpikir seperti itu, karena makhluk terikat oleh hukum-hukum Sunnatullah yang berlaku atasnya. Dalam masalah makhluk kita selalu berpikir “darimana ini”, “akan kemana”, “nanti menjadi apa”, “prosesnya bagaimana”, dll. Tetapi untuk Allah Ta’ala, Dia terbebas dari semua ikatan-ikatan hukum yang berlaku pada makhluk-Nya.
Kalau manusia memanjat, dia akan menjadi tinggi; kalau terjun ke bawah, akan menjadi rendah; kalau berlari akan menjadi cepat; kalau diam diri, dia tak bergerak; kalau kehujanan akan merasa dingin; kalau tertimpa terik sinar matahari, akan kepanasan. Manusia atau makhluk terikat hukum-hukum demikian. Tetapi Allah Ta’ala tidak terikat semua itu. Dia bisa berbuat apapun yang Dia inginkan, sehingga ada ayat Al Qur’an yang berbunyi: “Idza arada syai’an an yaqula lahu kun fa yakun” (kalau Dia menginginkan sesuatu, tinggal mengatakan “kun” maka jadilah apa yang Dia inginkan itu).
Bersemayamnya Allah di atas Arasy adalah bagian dari kehendak-Nya. Dia ingin apapun dan bagaimanapun, itu hak Dia sebagai Pencipta alam semesta dan kehidupan. Kita sebagai manusia tak punya hak mencampuri urusan Rububiyyah-Nya. Misalnya, sebelum menciptakan langit dan Arasy, Allah berkehendak demikian dan demikian, maka semua itu hak-Nya belaka. Kita tak bisa menolak atau mencampuri. Bila makhluk terikat oleh dimensi-dimensi, maka Allah tak terikat apapun. Dia mandiri dan independen. “Allahus Shamad” (Allah, bergantung kepada-Nya semua makhluk).

KELIMA, dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa ada kalanya dalam diri manusia timbul pikiran-pikiran aneh karena bisikan syaitan. Misalnya dia berpikir, bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Lalu siapa yang menciptakan Allah? Nabi menasehatkan, kalau ada bisikan-bisikan seperti itu, seorang Muslim cukup mengatakan, “Amantu billahi wa bi Rusulihi” (aku beriman kepada Allah dan kepada Rasul-rasul-Nya). HR. Imam Ahmad.
Dzat Allah sangat berbeda dengan makhluk-Nya. Allah menciptakan, tetapi tidak membutuhkan diciptakan. Allah adalah Awal, tetapi tanpa diawali. Dia ada, tanpa diadakan. Dia adalah Akhir, tetapi tanpa diakhiri. Allah bisa membolak-balikkan siang dan malam, gelap dan terang, panas dan dingin, sesuka diri-Nya. Jadi kita tidak perlu bertanya, “Siapa yang menciptakan Allah?” Sebab logika demikian hanya berlaku bagi makhluk-Nya. Allah Ta’ala ada tanpa diadakan, Dia kuasa tanpa diberi kekuasaan, Dia mencipta tanpa pernah terciptakan. Dia bisa membolak-balikkan dimensi-dimensi tanpa berkurang sedikit pun Kemuliaan dan Keagungan-Nya. Dia Tinggi tanpa ada yang lebih tinggi dari-Nya, Dia bisa turun tanpa menjadi lebih rendah. Allah tidak terikat sifat-sifat makhluk-Nya.
Kalau manusia mencari hal-hal di luar semua itu, ingin menerobos hakikat-hakikat seputar Sifat Rubibiyyah Allah; demi memuaskan hawa nafsu akalnya, jelas dia akan binasa. Na’udzubillah min dzalik. Ketahuilah, akal manusia dibatasi oleh hukum-hukum yang berlaku di alam semesta (universe). Sedangkan Allah bebas dari semua hukum-hukum itu. Sekali-kali, jangan memahami Allah dengan ukuran-ukuran makhluk-Nya.

KEENAM, ada logika yang diyakini sebagian orang, “Kalau Allah di atas Arasy, lalu dimana Dia sebelum Arasy itu diciptakan? Apakah Dia sebelumnya berada di suatu “tempat”, kemudian pindah ke atas Arasy? Mungkinkah Dzat Allah berpindah-pindah? Sungguh mustahil.” Logika demikian kan sangat kelihatan kalau si penanya berpikir dalam dimensi makhluk. Dia ingin memahami Allah dengan persepsi makhluk. Sebenarnya, Allah mau mengambil “posisi” dimanapun, itu hak Dia. Andaikan Allah tidak menunjuki diri-Nya di atas Arasy, tidak ada masalah bagi-Nya. Tetapi karena kasih-sayang Allah, di atas Keghaiban-Nya, Dia ingin memudahkan manusia memahami keghaiban itu, maka Dia berkehendak istiwa’ di atas Arasy. Dengan demikian, manusia mendapati satu kemudahan ketika ditanya “aina Allah” (dimana Allah). Maka kita bisa menjawab secara pasti: Fis sama’i ‘alal Arsy (di langit, di atas Arasy).
Mungkinkah Allah berpindah-pindah dari satu posisi ke posisi lain? Mula-mula, Anda harus bebaskan Dzat Allah dari ikatan-ikatan yang berlaku atas makhluk-Nya. Makhluk dibatasi oleh dimensi-dimensi, sedangkan Allah bebas dari semua itu. Kemudian, ingat selalu bahwa Allah memiliki Sifat Iradah (Maha Berkehendak). Kalau Allah berkehendak berbuat sesuatu, tidak ada satu pun yang mampu menghalangi-Nya. Seperti sebuah doa yang diajarkan oleh Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam: “Allahumma laa mani’a li maa a’thaita, wa laa mu’thiya li maa mana’ta” (ya Allah, tidak ada yang sanggup menolak apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa menerima apa yang Engkau tolak).
Jika demikian, lalu bagaimana insan-insan yang lemah, otak-otak yang bodoh, dan hawa nafsu yang meluap-luap ini, hendak menolak Sifat-sifat Allah, jika Dia berkehendak terhadap sesuatu. Itulah bahayanya, cara-cara Takwil itu nantinya kerap kali menjadi jalan untuk mengingkari Sifat-sifat Allah. Mulanya Takwil, lama-lama menjadi Jahmiyyah atau Zindiqah (atheis). Na’udzubillah wa na’udzubillah min kulli dalik.

KETUJUH, para ulama sering mengatakan “tafakkaruu fi khalqillah wa laa tafakkaruu fi dzatillah” (silakan berpikir tentang ciptaan Allah, namun jangan berpikir tentang Dzat-Nya). Ungkapan seperti ini tidak mengada-ada. Bukannya manusia tak boleh berpikir tentang Allah, tetapi otaknya tak akan bisa memahami Dzat Allah dengan segala Sifat-Nya. Dalam Surat Al A’raaf ayat 143, Musa ‘Alaihissalam pernah meminta ingin melihat Dzat Allah. Kemudian Allah berkata kepada Musa, “Lan taraniy” (engkau tak akan sanggup melihat-Ku). Lalu Allah memperlihatkan diri-Nya kepada gunung, seketika itu gunung tersebut hancur berkeping-keping karena takut kepada Allah. Melihat gunung hancur, Musa langsung pingsan. Hal ini merupakan batas demarkasi sifat kebebasan manusia dalam mendayagunakan potensi dan kekuatan nalarnya. Manusia tak boleh melebihi ambang demarkasi itu, agar otak dan kehidupannya tidak menjadi binasa. Nas’alullah al ‘afiyah.
Singkat kata, dimana kedudukan Allah sebelum menciptakan langit dan Arasy, semua itu adalah keghaiban belaka. Sama ghaibnya dengan bagaimana keadaan Allah beristiwa’ di atas Arasy. Kita tidak dibebani kewajiban untuk menelisik masalah-masalah seperti itu. Akal kita tak akan sampai pada kebenaran hakiki dalam hal seperti ini, kecuali kelak kita bisa tanyakan semua itu kepada Allah Ta’ala di Akhirat nanti (dengan syarat, harus masuk syurga dulu).
Dalam pertanyaan seperti ini tak ada penjelasan yang bisa memuaskan akal secara sempurna, kecuali akal orang-orang beriman yang rela mengimani Kitabullah dan As Sunnah; serta tidak menjadikan otak-nya sebagai hukum dan agama, dalam kehidupan ini.
Semoga bermanfaat, berkenan, dan mendapat barakah dari Allah Ta’ala. Allahumma amin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Wallahu a’lam bisshawab.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About